Senin pagi di akhir September itu berbeda dengan Senin biasanya. Biasanya, aku terbangun karena teriknya matahari Kota Pahlawan, Senin pagi kemarin aku terbangun di kampung halaman kesayangan. Dingin air menyentuh kulit ketika aku menyiramkan gayung pertama ke tubuhku. Jam dinding masih menunjukkan pukul 05.00 waktu aku keluar dari kamar mandi. Pukul 05.15 aku sudah bersiap di depan rumah bersama motor kesayangan Ibuk. Maklum motor kesayangan sendiri lagi di Surabaya.
Setelah minta restu Ibuk, kunyalakan motor dan bergegas menyusuri pagi yang dingin sepanjang perjalanan Sayutan, Parang menuju Dadi, Plaosan. “Mendaki gunung lewati lembah” seperti soundtrack Ninja Hattori, sepertinya cocok menggambarkan jalan yang kulewati pagi itu. Jalan lintas kabupaten dan lintas provinsi yang aku lewati. Melewati daerah Pohijo (Kec. Sampung, Kab. Ponorogo) kemudian masuk ke daerah Kab. Wonogiri (Jawa Tengah) sampai akhirnya kembali lagi ke daerah Jawa Timur melalui Kec. Poncol.
Dingin mulai menusuk tulang ketika masuk ke daerah Poncol. Setelah melewati jalan terjal dan berliku, dengan kekuatan gigi 1, sampailah aku di check point pertama, di rumah Bulik. Ada yang pernah bilang ini “Desa Di Atas Awan”, Desa Genilangit. Aku sebentar mampir, sekedar minum dan mencari kehangatan dari dinginnya udara pagi itu. Pukul 06.00 aku pamit untuk berangkat, tapi Bulik malah bilang “Jam piro iki? Keisuken lho? Dadi cuma 10 menit wes nyampe”.
Aku berangkat ketika jam menunjukkan pukul 06.10. Kembali melewati turunan dan tanjakan yang cukup menantang, akhirnya sampai juga di Plaosan. Tidak lama menunggu, tim yang lain akhirnya datang juga. Perjalanan menuju lokasi pun dilanjutkan lagi.
Lagi-lagi kami harus melewati tanjakan yang cukup curam. Satu dari teman kami harus berjalan karena takut tidak kuat di tanjakan. Aku yang single (tidak membonceng siapapun-red) dengan soknya naik tanjakan itu dan menyalip temanku yang lain. Aaaaa, sedikit kaget juga ketika sampai di atas tanjakan, dari arah depan ada mobil colt warna putih. Syukurlah, aku masih bisa banting setir ke kiri dan selamat.
Sampailah kami di SDN Dadi 4, sebuah SD kecil di Kecamatan Plaosan. Di sini, kami tim Kelas Inspirasi Magetan akan berbagi cerita, berbagi canda dan berbagi tawa dengan para siswa. Kami disambut dengan ramah oleh pihak sekolah. Pak Suwignyo sebagai Plt Kepala Sekolah di SDN Dadi 4 pun menawarkan apakah ada perlengkapan lain yang dibutuhkan para relawan. Globe, LCD dan speaker yang kami butuhkan pun akhirnya disediakan dengan cepat oleh pihak sekolah.
Sebelum mulai masuk kelas kami harus mengikuti upacara bendera yang mungkin sudah bertahun-tahun tidak pernah kami ikuti. Salah satu dari tim kami, Mba Eka didapuk untuk menjadi pembina upacara. Kami para relawan pengajar dan fasilitator masuk dalam barisan guru. Begitu senangnya melihat wajah-wajah polos di barisan siswa putri. Di sebelahnya, di barisan siswa putra, terlihat beberapa anak kelas 1, saling menganggu satu sama lain ketika upacara. Bukannya marah atau sebel dengan tingkah mereka, tapi pemandangan ini malah membuatku tersenyum saking lucunya.
Wajah polos siswa kelas 1 dan 2 ketika mengikuti upacara (Foto : Dokumentasi KI Magetan - SDN Dadi 4) |
Upacara berlangsung dengan khidmat, meskipun di beberapa bagian, Mba Eka sebagai pembina upacara melakukan beberapa “kesalahan” yang cukup membuat kami barisan relawan tertawa. Mungkin karena kami yang sudah lama tidak ikut upacara apalagi menjadi petugasnya, sehingga beberapa hal detail tidak kami ingat. Sewaktu pengibaran bendera, pembina upacara yang seharusnya pindah posisi ke depan untuk memberi tempat bagi pengibar bendera, malah diam saja sampai akhirnya diingatkan Pak Kepala Sekolah “Mbak, maju Mbak”. Yang lucu lagi, sewaktu pembacaan Pancasila, siswa yang bertugas membawa Teks Pancasila diam saja, tidak memberikan teks tersebut kepada pembina upacara. Lagi-lagi, Pak Kepala Sekolah dan jajaran guru mengingatkan “Diaturno ngarep, Nduk”.
Selesai upacara, kami mulai masuk kelas masing-masing. Di sesi pertama aku dapat jatah untuk mengajar rombongan kelas 1-2. Sebelumnya aku sudah mewanti-wanti pada diriku sendiri, bahwa kelas 1-2 adalah kelas yang butuh treatment berbeda dengan kelas di atasnya. Di samping mereka yang masih polos dan unyu-unyu, mereka juga masih belum bisa diajak berpikir abstrak tentang profesiku.
Masuk ke kelas, disambut dengan senyum dan tawa mengembang di wajah mereka, rasanya bikin adem. Sebelum memulai materi, aku mengajak mereka berkenalan. Tidak dengan cara berkenalan biasa, aku mengajak mereka berkenalan sambil bernyanyi, seperti yang diajarkan Ibuk yang seorang pengajar PAUD. “Kalau suka hati, panggil Neser.. Neser”, seperti itu contoh perkenalan yang aku ajarkan ke mereka.
Kemudian aku mengajak mereka membentuk lingkaran di depan kelas, aku ajak mereka bersenang-senang dengan ice breaking. Mereka saling berebut untuk mendapatkan tempat yang berdekatan dengan bolo (teman dekat, red) masing-masing. Kalau ada cewek yang berdekatan dengan cowok, mereka langsung bilang “cihuyyyy”. Aku mengajak mereka main “Patung Pancoran”. Kalau aku bilang “Patung Pancoran”, mereka harus mengangkat tangan di atas, mirip dengan Patung Pancoran di Jakarta.
Selesai ice breaking, aku mulai materi tentang profesiku. Aku mengenalkan diri sebagai seorang “Peneliti”. Profesi yang sangat tidak populer di mata siswa SD. Agar mereka paham, aku ajak mereka simulasi tentang pekerjaanku. Tahap pertama seorang peneliti adalah “ingin tahu”, aku minta salah satu dari mereka membantuku menjadi interviewer untuk bertanya kepada teman-temannya tentang cita-citanya. Satu anak yang membantuku namanya Chelsea, dia sendiri bercita-cita menjadi seorang “mubalighot”, atau yang lebih dikenal dengan sebutan “da’i”.Mengajar di kelas 1-2 cukup menantang, kelasnya rame. Sewaktu aku ikut Chelsea bertanya ke salah satu anak di di seberang kanan, mereka yang seberang kiri rame sendiri.
Mengajak mereka
bermain Patung Pancoran (Foto : Dokumentasi KI Magetan - SDN Dadi 4) |
Chelsea ikut membantuku bertanya
tentang cita-cita temannya
(Foto : Dokumentasi KI Magetan - SDN Dadi 4) |
Setelah Chelsea membantuku bertanya tentang cita-cita temannya, ternyata kebanyakan siswa di kelas 1-2 SDN Dadi 4 itu bercita-cita menjadi mubalighot. Setelah aku bertanya apa alasannya, jawabannya begitu polos “ingin dapat pahala, Kak”. Aaaaakkk, subhanallah, terharu, begitu mulianya cita-citanya. Semoga tercapai ya Dek…
Di kelas 5-6, mengajar mereka lebih mudah. Mereka lebih mudah diatur. Jawaban cita-cita mereka lebih bervariasi. Ada yang ingin jadi dokter, guru, koki, bahkan desainer. Tapi sebagian besar dari mereka bercita-cita menjadi petani seperti orang tua mereka dan guru ngaji. Tidak ingin mengecilkan hati mereka yang ingin jadi petani, aku pun bercerita tentang pengalamanku bertemu dengan petani-petani hebat Indonesia di sebuah pameran pertanian di Malang. Aku menyakinkan mereka bahwa petani lah yang ikut memberi makan rakyat Indonesia. Dengan mekanisasi pertanian, pertanian di Indonesia nantinya pasti akan maju.
Kelas 3-4, kelas terakhir yang cukup menguras emosi. Kalau kelas 1-2 cenderung polos, kelas 5-6 lebih dewasa, kelas 3-4 ini aku bilang “mbethik” (bandel, red). Beberapa kali aku mendengar selentingan kata-kata kotor dari mereka. Bahkan ada 1-2 anak di bagian depan yang malah bersembunyi di bawah meja.
Ketika aku bertanya tentang cita-cita, di kelas 3-4 ini muncul beberapa cita-cita baru, seperti atlet pencak silat. Mungkin karena pengaruh adanya beberapa perguruan silat di Magetan, membuat mereka punya cita-cita seperti ini. Yang penting ga tawuran, Dek.
Di akhir sesi, aku meminta mereka menulis cita-cita mereka di atas selembar kertas yang aku bagikan. Mereka cukup antusias ketika menulis cita-cita tersebut, apalagi setelah aku bilang bahwa kertas tersebut akan ditempelkan di balon dan balonnya akan diterbangkan.
Fyuhhhhh, akhirnya sesi mengajar pun selesai. Waktunya masuk ke sesi kontemplasi, menerbangkan balon cita-cita mereka ke angkasa. Siswa-siswa berkumpul dulu di lapangan, membentuk kelompok, masing-masing 3 orang. Mengatur mereka cukup sulit, tidak cukup satu orang yang memberi komando. Setelah terkumpul kelompoknya, aku bersama fasilitator memberi masing-masing kelompok satu balon untuk ditempeli kertas cita-cita yang sudah mereka buat. Namanya juga anak SD, jadi pinginnya balon warna tertentu. “Kak, aku yang ungu ya..”, sebelah sana bilang “Aku yang merah”.
Setelah balon dibagikan semua, mereka kami bawa ke depan sekolah untuk bersama-sama menerbangkan balon mereka. Jalan depan sekolah yang cukup menanjak menjadi suatu keindahan sendiri di sana. Dalam hitungan mundur 5…4…3…2…1 akhirnya balon cita-cita mereka sudah mengudara, menuju angkasa, sebagai bukti bahwa mereka yang berasal dari desa kecil pun punya cita-cita setinggi langit.
Balon cita-cita mereka terbang menuju
angkasa
(Foto : Dokumentasi KI Magetan - SDN Dadi 4) |
Regards,
Neser Ike C.
Relawan Pengajar Kelas Inspirasi Magetan
SDN Dadi 4 Kec. Plaosan Kab. Magetan
ConversionConversion EmoticonEmoticon