Bingkai Inspirasi

Pernahkah kalian dengar, “Sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi orang lain”? Iya, salah satu kata bijak yang sering saya dengar inilah yang menjadi moto saya. Sekilah info saja, ketika saya menulis skripsi pun moto saya juga itu, hehee mainstream banget ya. Maksud hati skripsi saya nantinya bisa berguna bagi yang membacanya. Amien. Karena menurut saya berguna bagi orang lain itu bukan masalah mainstream atau terlalu general, justru inilah hal yang mendasar dalam kehidupan kita sehari-hari. Minimal itu jadi catetan kita untuk kita tunjukkan kepada Tuhan, “Ya Tuhan ini kami punya satu catatan yang mungkin bisa menjadi catatan kebaikan kami terhadap sesama manusia di muka bumi ini.”

Bermula dari kesenangan saya mengikuti kegiatan-kegiatan sosial, salah satu teman saya masa SMA menawari saya untuk ikut gerakan menginspirasi. Bukan hal yang asing dalam kegiatan saya sehari-hari untuk masalah inspirasi. Saya hidup di antara para inspirator yang sering mengisi acara-acara motivasi dan bahkan sudah membuat buku motivasi juga. Otomatis saya pun tertular virus inspirasi mereka dalam keseharian saya. Jadi, ketika saya diajak untuk ikut gerakan Kelas Inspirasi saya langsung mengiyakan. Di 2013 lalu adalah tahun dimana saya belajar dan mencoba mengikutinya. Berawal dari yang tidak mengenal partner saya di Kelas Inspirasi, hanya berbekal tujuan yang sama, saya dan teman-teman baru saya berkoordinasi melalu nomer telpon dan di beberapa media sosial untuk mewujudkan Kelas Inspirasi di Ponorogo, kota perantauan saya.
Hwala, saya jadi mendadak artis dengan menyandang sebagai pegiat Kelas Inspirasi di Ponorogo. Entah karena dampak sosialisasi mulut ke mulut atau dampak tak enak pada teman sendiri, banyak sekali teman-teman yang waktu itu saya tawari untuk gabung menjadi tertarik dan bergabung. Selama di kota Reog itu pun saya menjadi sangat bersemangat dengan kegiatan-kegiatan paska hari Inpirasi 11 november 2013. Secara praktis saya memiliki tanggung jawab sosial untuk mengembangkan gerakan ini menjadi lebih banyak lagi relawannya. Tentunya untuk turun langsung menjadi pegiat Kelas Inspirasi.
(Foto: Shelvya)

Singkatnya, ketika saya harus pulang ke kota kelahiran saya Magetan setelah menyelsaikan studi S1, saya pun ditantang teman-teman untuk menjadi pegiat Kelas Inspirasi di Magetan. Rencana saya ingin tenang di masa penantian S2 sirna dengan semangat untuk Kelas InspirasiMagetan. Awalnya, sedikit ada keraguan dalam diri saya, saya tidak punya kawan di Magetan, saya harus minta bantuan siapa? Namun semuanya sirna ketika di akhir Mei 2014 mulai banyak teman-teman yang menghubungi saya melalui nomer seluler yang terpajang di poster besar Kelas Inspirasi Jawa Timur 2. Hasilnya, saya pun bisa bersua dengan mereka tanpa mengenalnya terlebih dahulu. Namun kembali lagi bahwa kami memiliki tujuan sama, yaitu turun tangan langsung menjadi relawan dan pegiat di Kelas Inspirasi di kota tercinta ini, Magetan. Suka duka bahkan cekcok pun pernah kami alami selama kurang lebih empat bulan mempersiapkan hari inspirasi di tanggal 29 September 2014. Entah apa yang membuat kami cepat akrab dan mudah berkoordinasi meski kami sama-sama baru kenal. Satu jawabannya, kami memiliki tujuan yang sama. Pro-kontra menghiasi persiapan kami selama ini, bahkan seleksi alam pun terjadi. Banyak sekali orang-orang yang dari awal bergabung ingin menjadi relawan namun luntur satu persatu dengan berbagai alasan. Tak apa, yang semangat masih banyak dan yang peduli masih berjibun.

Mulai dari briefing kami sudah “dagdigdug” tak keruan untuk bertemu para relawan pengajar dan dokumentator. Mau tak mau saya pribadi sebagai koordinator harus bersinggungan langsung dengan orang-orang dari berbagai kota, profesi dan background. Namun, itu tak menyurutkan langkah saya sebagai orang yang SKSD (Sok Kenal Sok Dekat) dengan mereka semua. Itulah modal saya pribadi sebagai koordinator KI Magetan yang buta dengan Magetan dan tipikal masyarakatnya. Hehe sedikit menggelitik bagi saya harus mengeluarkan semua jurus SKSD saya.
(Foto: Shelvya)
Hari inspirasi pun tak luput dari keceriaan dan keriangan, meski saya harus berangkat jam 5 pagi. Masih cukup remang-remang jalanan pagi itu. Meski ini tahun kedua saya mengikuti Kelas Inspirasi tak lantas membuat saya tidak antusias. Saya begitu bersemangat sekali berangkat ke SDN Sukowidi 2 di lereng gunung Lawu sambil bernyanyi-nyanyi dengan partner fasilitator saya, mbak Natalia. Aslinya kami ingin menghafalnya sebelum berjumpa anak-anak karena malam sebelumnya kami sudahlembur sampai malam sekali.

Keriuhan di rombel (rombongan belajar) kami tak berbeda dengan rombel lain, meski dibandingkan dengan rombel lain, di rombel kami lah fasilitas paling mini. Salah satu contoh saya harus teriak-teriak tanpa mic untuk mengkondisikan anak-anak di lapangan dengan 67 siswa-siswi. Well, semua bisa terkontrol dengan aman, meski suara harus serak dua hari setelahnya, hehe. Itupun tak jadi masalah, kami tetap semangat hari itu. Apalagi di sesi foto tak satu pun momen terlewatkan untuk tidak diabadikan. Karena hanya itu salah satu sebagai pengingat kami dan gambaran bagi yang lain, bahwa di lereng gunung Lawu yang gagah itu masih ada yang perlu diperhatikan, khususnya dalam hal pendidikan.

Menurut cerita ibu kepala sekolah, banyak dari anak-anak yang bersemangat untuk lanjut sekolah ke tingkat menengah pertama, namun masih ada saja orang tua mereka yang belum mengijinkan anaknya sekolah yang lebih tinggi. Well, itu cukup mengiris lubuk hati saya. Wahai bapak bupati, ini lo masih ada pendudukmu yang sulit sekolah. Itu rasanya ingin saya teriakkan di depan gedung kantor bupati Magetan. Hal yang membuat saya tersentak adalah anak-anak ini tetap berprestasi di bidang non akademis formal, yaitu di bidang agama dan seni. Qiro’ah al-Qur’an dan seni prakarya menjadi andalan SDN Sukowidi 2 dalam hal prestasi. Terjajar rapi trofi dan hasil prakarya mereka yang cukup mengisi lemari kaca di kantor guru yang sudah usam itu.

Wajah polos mereka begitu sangat memperhatikan ketika saya menyampaikan pesan-pesan sederhana kepada mereka. Mereka sudah terbiasa dengan saling mengolok ejekan nama orang tua mereka dan juga makan minum sambil jalan bahkan lari-lari. Itulah yang paling saya sering lihat jadi tabiat mereka. Seingat saya ketika kecil masih ada teguran ketika makan sambil jalan, tapi sekarang untuk hal kecil itu saja rasanya banyak dari kita cuek dan tidak menganggapnya sebagai sopan santun yang mendasar. Apalagi soal ejekan yang membawa nama julukan orangtua mereka, tak jarang ada yang menangis dengan sabetan pedang-pedang tajam mulut mereka. Mungkin mereka belum faham tentang menghargai dan bertutur kata yang tidak menyakitkan kepada orang lain. Mungkin mereka hanya meniru tingkah dan perilaku yang adadi sekitar mereka. Mungkin..

Mereka ada yang bercerita soal keseharian mereka bermain dan belajar di sekolah itu. Wajah polos mereka menggambarkan aura kejujuran keadaan tentang negeri ini. Begitu polos dan apa adanya, namun masih saja dibodohi dengan keadaan zaman yang mengancam. Ohh, bapak-ibu pejabat yang sedang korupsi memperkaya diri, tidakkah kalian ingat mereka yang membutuhkan sebongkah kecil kekayaan dan pengertian kalian? akankah uang pendidikan masih dikorupsi juga oleh kalian? Jika kalian masih senang dengan korupsi dan perebutan kursi, sudinya tengok sebentar di lereng gunung ini. Buatlah catatan kebaikan kepada Tuhan bersama mereka. Itu saja.

Pemain sepak bola, itu yang menjadi cita-cita populer dari mereka yang laki-laki. Guru adalah cita-cita mulia yang menurut mereka cocok dengan mereka nantinya. Jika ditanya ingin jadi guru apa, mereka hanya menyimpulkan senyum manis tanda belum ada gambaran dalam benak. Itu gambaran bagi mereka untuk menjadi seseorang di masa depan. Gambaran yang sering mereka lihat di televisi dan keseharian mereka. Bagi mereka cukuplah menjadi pemain sepak bola yang terkenal dan kaya, menggabungkan kesenangan dan impian hidup tentram. Beda dengan guru, jika mereka menjadi seperti guru-guru mereka akan membuat mereka lebih berguna dan dipandang. Memang guru-guru SDN Sukowidi 2 memang teladan yang hebat, puluhan kilometer mereka tempuh. Naik ke gunung, itu istilah mereka untuk bisa mencapai sekolah ini. Guru-guru ini pengabdiannya luar biasa, tak ayal anak didiknya pun ingin seperti mereka. “Aku ingin menjadi guru, kak” itu celoteh mereka. Begitu polos dan mulia.

Keceriaan hari itu ditutup dengan lambaian tangan-tangan kecil yang terlihat samar diujung bukit jauh di atas terlihat dari sekolah. Kami hanya tertegun kaget dan terharu, mereka memanggil-manggil nama kami satu persatu dari kejauhan. Keceriaan mereka membahana di antara pohon-pohon bukit yang membelah sekolah dan rumah mereka. “Berapa jauh mereka menempuh jarak sekolah dan rumah mereka?” itu pertanyaan kami kemudian. Kami yang terbiasa sekolah di kota, dengan mudah dijangkau menggunakan angkutan umum atau kendaraan pribadi. Tapi mereka? mereka berjalan ratusan meter menempuh terjalnya jalanan lereng gunung Lawu untuk menuju sekolah. Pantas saja baju lusuh dan sepatu yang compang-camping banyak saya temui dari mereka. Debu jalanan telah memakan putihnya baju seragam dan terjalnya jalanan telah menjadi saksi pijakan sepatu mereka setiap hari.

Lantas, apa yang bisa saya ambil dari semua itu? Iyakah hanya menjadi kenangan bagi saya saja dalam bingkai foto yang saya pajang di sosial media atau galery handphone saya? Atau sekedar perenungan dan menggerutu pada pemangku kebijakan atas nasib mereka? Adakah yang bisa saya lakukan? Bingkai-bingkai inspirasi telah mereka tuliskan dengan rapi dalam benak saya. Menuntun diri ini untuk lebih baik dalam kebajikan menuliskan rencana-rencana untuk sedikit bisa membantu mereka. Saya punya teman-teman luar biasa, keluarga baru saya di kota kecil yang selama ini saya tidak pedulikan perkembangannya, Magetan ingkang kumandang. Mereka memiliki ide-ide luar biasa untuk membungkus bingkai-bingkai inspirasi dalam gerakan di Kelas Inspirasi Magetan. Langkah kalian selanjutnya adalah buah dari hasil mencangkul tanah tandus Magetan dari kepedulian dari para pemuda dan relawannya untuk terjun langsung. Memberangus kepasrahan hidup di bawah kekuasaan penguasa korupsi dan kursi yang dzalim. Kita doakan saja untuk mereka agar kebaikannya akan segera muncul dan merangkul setidaknya satu titik di lereng gunung itu, SDN Sukowidi 2 dan sekolah-sekolah lain tentunya. Terima kasih selama empat bulan terakhir yang indah di Magetan, dan terima kasih setahun yang lalu di Ponorogo telah memberi pengalaman bagi saya yang bisa dibagikan ke lebih banyak lagi relawan. Bingkai inspirasi tertoreh lagi di kota kelahiran saya. 

Terima kasih Pak Sagung, Mas Andian, mbak Natalia, Nana, Wahyu, Riska, Dita, Heri, mbak Ratna, Fredy, Pria, mas Toha, mas Anton, mbak Vita, Devi, Dayat, Adip, Ita, Meryn, Ajeng, Shella, Sari, seluruh relawan fotografer/videografer dan relawan pengajar yang super sekali. Terima kasih sudah menjadi bagian kesuksesan Kelas Inspirasi Magetan perdana di 2014. Untuk Ponorogo, terima kasih juga untuk pengalamannya di KI Jatim 1 dan pamerannya. Terima kasih Dwi, mas Dhana, mbak Septi, mbak Dera, mbak Anis, mbak Hida, Faka, Dian, Shofa, Shofi, dan semua yang belum sempat disebut. Kalian luar biasa semua. Kalian semua sudah tuliskan satu hal untuk bisa ditunjukkan kepada Tuhan. Kebaikan dan berbagi kepada sesama manusia dalam bingkai Kelas Inspirasi.


Shelvya Fauziah Ardi
Relawan Fasilitator Kelas Inspirasi Magetan
SDN Sukowidi 2 Kec. Panekan Kab. Magetan


Previous
Next Post »

Kelas Inspirasi

Berhenti mengeluh tidaklah cukup.

Berkata-kata indah dengan penuh semangat juga tidak akan pernah cukup.

Semua orang dapat turut ambil bagian dalam gerakan ini.

Lakukan aksi nyata.

Sekarang.

(Indonesia Mengajar)