Sedikitnya 20 siswa Kelas III A SD Negeri Selosari Komplek,
Kecamatan Magetan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur (Jatim), panik
setibanya saya masuk ruang kelas mereka, Sabtu (24/10/2015) pagi.
Puluhan siswa berusia sekitar 8 tahun (th) sampai 9 th tersebut mengeluh
setelah saya berkata akan memberikan tugas.
"Yah, kok tugas, Mas? Tugasnya apa? Saya belum belajar,"
keluh salah satu siswa, Fathan, 8, dengan suara cukup lantang yang
kemudian diikuti kawan-kawannya hingga membuat ruang kelas berubah
gaduh.
Namun, saya tetap memaksakan diri untuk tidak memedulikan
banjir protes dari puluhan siswa Kelas III A SD Negeri Selosari Komplek
itu. Sambil tetap memasang muka serius, saya mulai membagikan kertas HVS
berwarna putih polos kepada mereka. Tidak ketinggalan, saya meminta
anak-anak untuk menyiapkan pulpen atau pensil.
"Mas belum kenalan. Namanya siapa? Rumahnya di mana?" kata
Fathan memotong penjelasakan saya. Pertanyaan bocah laki-laki yang
ternyata mempunyai hobi sama dengan saya –membaca tersebut membuat ruang
Kelas III A SD Negeri Selosari kembali gaduh. Para siswa berebut
kesempatan untuk melempar pertanyaan kepada saya, bahkan di antaranya
penasaran dengan zodiak hingga nama pacar.
Masalah belum usai, beberapa anak-anak bahkan mulai
terprovokasi tidak mau mengerjakan "tugas" sebelum saya menjawab semua
pertanyaan. "Duh, seperti yang saya duga. Mereka [anak-anak usia kelas
III] masih terlalu dini untuk tetap ikut rencana saya di kelas," batin
saya kembali menyusun strategi mengelola kelas.
Berdasarkan rencana, saya ingin berkenalan dan menujukan
sifat asli yang humanis di saat anak-anak sedang merangkai tugas di
tengah proses pembelajaran. Apabila berkenalan di awal, saya khawatir
anak-anak merasa kenal dan nyaman terlebih dahulu hingga enggan atau
cenderung menyepelekan untuk menggarap “tugas”.
Tidak bisa dihindari, saya akhirnya memilih mengalah dengan
mulai menjawab satu per satu pertanyaan anak-anak. Sedangkan keterangan
pokok, seperti nama, profesi, tempat tinggal, dan tanggal lahir,
sengaja saya tulis di whiteboard agar mudah mereka ingat. "Sudah ya.
Sekarang gantian kalian yang mengikuti petunjuk Kak Ody. Ohya
kawan-kawan panggil Kak Ody saja ya, jangan Pak atau pun Mas Irawan,"
pinta saya setelah menjawab selusinan pertanyaan.
"Kalian sebentar lagi akan menjadi wartawan. Kalian yang
duduk di kursi sebelah timur atau kanan, Kak Ody bebaskan untuk bertanya
apa pun kepada teman di sebelah masing-masing. Daftar pertanyaan dan
hasil jawabannya ditulis di kertas, ya! Waktunya 7 menit mulai dari
sekarang. Kawan-kawan yang bereksempatan menjawab harus jujur hlo,"
perintah saya sok galak.
Saya menyadari anak-anak akan kebingungan selama
menyelesaikan pekerjaan atau tugas reportase tersebut. Namun, saya sudah
menyiapkan siasat. Sambil berjalan, saya membantu mereka mengerjakan
pekerjaan tersebut. "Coba kamu bertanya [ke teman sebangku], pernah
menangis di sekolah berapa kali? Oke? Oke?" bisik saya sambil melempar
senyum dan mengangkat alis berulang kali di hadapan beberapa siswa
perempuan.
Sedangkan siswa laki-laki kelas III A SD Negeri Selosari
Komplek, saya arahkan mereka untuk saling bertanya terkait keusilan yang
pernah dilakukan di kelas, misalnya aktivitas mencontek dan berkelahi.
Meski sering kali bertanya ini dan itu, sebagian besar dari mereka
akhirnya mampu mengembangkan pertanyaan sendiri.
"Waktunya habis! Sekarang kawan-kawan yang merasa sudah
menjawab banyak pertanyaan, Kak Ody kasih kesempatan untuk gantian
bertanya. Sepuasnya! Waktunya sama, 7 menit mulai dari sekarang ya!"
pinta saya.
Singkat cerita, setelah waktu habis, saya mempersilakan
beberapa siswa di kelas III A SD Negeri Selosari Komplek secara sukarela
untuk maju ke depan kelas. Saya ingin mereka membacakan hasil wawancara
teman sebangku. Tidak disangka, mereka berebut untuk maju. Bukan hanya
Fathan, Tasya, Avivah, Etika, Abil, Endra, Angrien, dan beberapa anak
lainnya lari mendekati saya di depan kelas.
Supaya suara terdengar sampai penjuru kelas III A SD Negeri
Selosari Komplek, saya meminta anak-anak membacakan hasil wawancara
mereka di atas bangku panjang di depan kelas. Meski sempat malu-malu,
mereka perlahan berani membacakan beberapa hal yang tercantum di kertas.
Sebentar kemudian, gelak tawa pecah di ruang Kelas saat abak-anak
membacakan hasil wawancara.
Tidak lain, anak-anak dengan leluasa membuang tawa setelah
mengetahui "sisi lain" atau rahasia kawan-kawan mereka sendiri yang
selama ini hanya hidup sebagai misteri. Informasi yang berhasil mereka
"beritakan", antara lain seputar hobi mencontek, film kesukaan, sinetron
kesayangan, pengalaman mengompol di kelas, hingga guru paling dibenci
di sekolah.
Karena keterbatasan waktu, tidak semua siswa kelas III A SD
Negeri Selosari Komplek bisa maju untuk memperkenalkan kawan sebangku
mereka. Kelas akhirnya kembali saya kuasai. Tugas yang baru saja
anak-anak lakukan saya gunakan sebagai pengantar untuk menjelaskan
beberapa hal terkait pekerjaan seorang wartawan (baca: wawancara atau
reportase).
Setelah sesi tugas, saya melanjutkan kegiatan di ruang
kelas III A SD Negeri Selosari Komplek dengan banyak berbagai pengalaman
selama bekerja di Harian Umum Solopos sejak 1,5 tahun terakhir.
Pengalaman meliput proses identifikasi jenazah korban kebakaran Lawu di
RSDU dr. Sayidiman, Magetan pada Senin (18/10/2015) lalu, tidak
ketinggalan saya sampaikan hingga membuat mereka termenung diam untuk
membayangkan.
Selain itu, anak-anak juga saya pameri dengan cerita
pengalaman mewawancara sejumlah artis Ibu Kota beserta pejabat penting
yang selama ini hanya mereka dengar dan bisa disaksikan di dalam
tayangan televisi (TV). Saking ingin tahunya atau malah tidak percaya,
sebagain dari mereka bahkan menuntut saya untuk menunjukkan foto artis
di handphone, misalnya Shaheer Sheikh dan personel Sheila On7.
Setelah cukup banyak bercerita dan berinteraksi dengan para
siswa hingga sebagian besar dari mereka enggan beristirahat, saya baru
melempar pertanyaan gong. Prediksi saya tepat. Setelah ditanya cita-cita
di masa depan, anak-anak menjawab tidak jauh di seputar profesi sebagai
polisi, dokter, guru, pilot, atau tentara, dan syukur-syukur lebih
berwarna dengan pilihan menjadi pemain sepak bola.
"Ada yang tahu cita-cita Kak Ody?" saya mencoba kembali
berinteraksi. Tidak lama berselang, mereka saling sahut untuk menebak
dengan tepat cita-cita saya. Anak-anak melempar jawaban tidak jauh dari
apa yang menjadi cita-cita mereka, yakni menjadi polisi, dokter,
tentara, dan guru. Hanya beberapa anak-anak yang menyebut saya ingin
menjadi wartawan.
"Jawaban kalian semua salah. Cita-cita Kak Ody menjadi
kepala desa," jawab saya dengan mengunggah senyum di mulut dan jujur di
hati. Benar saja, pernyataan saya tidak lagi direspon anak-anak. Tidak
mau membuat anak-anak semakin resah dengan ulasan strategis tugas kepala
desa Undang-undang Desa, saya memilih untuk membagikan beng-beng serta
permen kepada para siswa yang sudah berani mempresentasikan hasil
wawancara.
"Kawan-kawan boleh menjadi apa saja, boleh bercita-cita
menjadi apa saja, asal tidak boleh menjadi pemalas," kata saya sebelum
menutup kelas dengan memberikan salam. Pernyataan yang kerap saya dengar
selama berkuliah di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi tersebut
tidak sepenuhnya menasihati anak-anak, melainkan untuk diri sendiri yang
masih berproses –belajar untuk menggapai cita-cita.
Selayaknya siswa-siswi SD Negeri Selosari Komplek atau
anak-anak lain di berbagai penjuri bumi, saya tidak mau kalah untuk
selalu berangkat “sekolah”. Bagi saya, belajar bisa di mana saja, kapan
saja dan dengan siapa saja. Belajar dengan gaya tersebut bisa ditemui
saat mengikuti kegiatan Road Show Kelas Inspirasi Magetan kali ini. Saya
merasa tidak sepenuhnya sedang mengajar anak-anak ketika berada di
ruang kelas, bahkan bisa sebaliknya. Anak-anak mampu memberikan
"masalah" dalam bentuk apa pun yang menuntut saya untuk belajar: mencari
solusi. Ingin puas hidup dengan terus menerima (belajar) dan saling
berbagai (membelajarkan)? Setubuhi kegiatan Kelas Inspirasi!
Madiun, 25 Oktober 2015
Irawan Sapto Adhi
Wartawan Solopos
Irawan Sapto Adhi
Wartawan Solopos
ConversionConversion EmoticonEmoticon