Mutiara - Mutiara di Lereng Lawu

Mereka adalah tunas-tunas bangsa yang harus dijaga, dibimbing dan diperhatikan.  Walau tempat tinggal mereka jauh dari kota berada pada lereng pegunungan yang begitu indah namun semangat untuk meraih cita-cita tak pernah padam. Jika boleh saya mengatakan “nadyan cedhak watu adoh ratu , nanging gegayuhane ngungkuli gunung lawu ” (walau tinggalnya di lereng gunung dan jauh dari pusat ibu kota namun cita-cita dan semangatnya melebihi gunung Lawu).  Itulah yang membuatku tertegun setelah mereka mengutarakn cita-citanya yang begitu mulia. Mencoba belajar bersama mereka sungguh sangat menyenangkan, banyak inspirasi yang saya dapatkan. Jadi di kelas inspirasi ini tidak mereka (siswa) saja yang mendapat inspirasi tapi relawan pengajar bahkan juga relawan dokumenter maupun relawan panitia sama-sama mendapatkan inspirasi-inspirasi yang baru.



Kebetulan pada jam pertama saya diberi tugas untuk mengajar siswa-siswa kelas enam. Karena mereka sudah menginjak tataran yang paling tinggi di SD, maka saya rasa untuk diberikan materi yang lebih daripada kelas di bawahnya. Mereka saya ajak untuk membuat puisi dan berpuisi di depan kelas. Awalnya kaku dan masih malu-malu. Namun ketika mulai bisa dicairkan sungguh luar biasa hasilnya. Kata-katanya tertata rapi, kalimatnya penuh kepolosan namun mengesankan.

Di situlah pikiran mereka muncul dan sangat mengagumkan. Bahkan ada salah satu siswa yang terisak-isak menangis karena keharuannya dalam menulis puisi berjudul “ibu”. Mereka sebenarnya adalah bibit sastrawan yang harus disiram, dipupuk dan dirawat agar membuahkan hasil yang begitu memuaskan. Saya bangga kepada mereka, ada harapan besar yang ingin aku serahkan kepada mereka. Atas keberlangsungan dunia kesusastraan yang penuh keindahan, seindah panorama alam di mana mereka berada.


Begitu pula ketika aku mengajar jam kedua di kelas tiga dan empat. Mereka sangat polos, memperhatikan materi yang saya sampaikan. Karena tergolong masih anak-anak berniat membuka kembali sastra lesan (folklor lesan) berupa “dongeng kancil ”yang penuh dengan nilai kearifan lokal. Teknik penyampaian menggunakan bahasa Jawa (sebagai bahasa ibu). Di situ ingin saya jabarkan betapa cerita di dalam dongeng memberikan contoh suri tauladan yang baik, kecerdasan, kebijakan yang harus ditanamkan kepada anak-anan sejak usia dini. Apalagi bahasa ibu (bahasa Jawa) sebagai fundamental bahasa nasional. Di dalamnya mengandung etika, tatakrama (unggah-ungguhing basa) yang patut dibanggakan. Karena di dunia manapun belum pernah diketemukan kekayaan tarafan (tingkatan) yang selengkap bahasa Jawa.

Ini adalah kesempatan yang sangat bagus, melalui dongeng dengan menggunakan bahasa Jawa secara langsung anak-anak telah diajarkan norma, etika yang akan mempertebal jati diri bangsa. Ketika saya bertanya. ternyata masih sangat sedikit orang tua, guru atau siapapun yang pernah mendongeng kepada mereka. Ini sangat disayangkan, dan tidak boleh dibiarkan begitu saja. Beruntung saya bisa sedikit mengenalkan dongeng kepada mereka. Semoga apa yang telah kami lakukan bisa menginspirasi semua orang untuk menghargai dan memahami budayanya sendiri. 

Lewat kelas inspirasi ini semoga bakat, minat dari anak-anak bisa digali, dipupuk dan dikembangkan. Jangan biarkan mereka pupus harapan, kehilangan arah serta terkurung dalam kegelapan. Dunia ini masih luas seluas harapan mereka. Kiranya Tuhan akan melimpahkan anugrah kepada mereka semua. Salam inspirasi.

Tulus Setiyadi, S.T.P.
Relawan Pengajar Kelas Inspirasi Magetan #3
Profesi : Penulis
Rombel 04 : SDN Plangkrongan 2
Kec. Poncol Kab. Magetan
Previous
Next Post »

Kelas Inspirasi

Berhenti mengeluh tidaklah cukup.

Berkata-kata indah dengan penuh semangat juga tidak akan pernah cukup.

Semua orang dapat turut ambil bagian dalam gerakan ini.

Lakukan aksi nyata.

Sekarang.

(Indonesia Mengajar)