Saya setengah tak percaya ketika seorang murid, entah kelas 1 atau 2 di SDN Gonggang 2 Poncol Magetan, menyatakan cita-citanya ingin menjadi pembantu. Kalau usia anak itu lebih dewasa, saya tentu akan melontarkan candaan, ‘Tentu, jadi pembantu presiden.’ Tapi, karena usianya mungkin masih enam tahun, saya hanya tanyai dia agar pemahaman saya jelas, “Pembantu apa?” Anak itu menjawab dengan tempo lambat namun stabil, “Pembantu rumah tangga.”
Ha?
Meski termangu, saya tidak mengomentari ucapan lugu anak itu. Saya lanjutkan giliran menanyai anak-anak lain tentang cita-cita. Jawaban populer yakni; guru, dokter, tentara, dan polisi, masih banyak saya dengar. Namun, saya juga mendengar dua anak menjawab, “Kerja di kota.” Setelah saya tanya lebih jauh, yang satu bilang, “Di Jakarta,” dan yang satunya lagi tidak segera menjawab pasti, namun kemudian dia ralat ,”Kerja di Hongkong.”
Saya juga mendengar jenis cita-cita yang lumayan beragam. Ada anak yang bercita-cita menjadi guru silat. Alasannya? Kalau ada preman, langsung disikat. Ada juga yang ingin menjadi pemain sepakbola dan pembalap mobil. Alasannya? Bisa terkenal. Ada juga yang bercita-cita jadi chef. Padahal dia laki-laki. Bisa jadi, ini karena paparan televisi.
Salah satu misi Kelas Inspirasi memang mengenalkan profesi sehingga anak-anak punya lebih banyak pilihan cita-cita. Karena itu, saya tidak ingin menilai suatu cita-cita dibandingkan cita-cita yang lain. Konkritnya, saya tidak menilai cita-cita menjadi pembantu lebih buruk daripada cita-cita menjadi dokter. Sepanjang dikejar dan dijalani dengan baik, takdir manusia ada di jentikan jari-jari Tuhan.
Lalu, saya tanyakan, bagaimana cara mencapai cita-cita? Hampir bebarengan, boleh dikata semua menjawab, “Belajar yang rajin, berdoa.” Tentu saja jawaban itu benar. Tapi, kurang spesifik dan jelas. Maka, saya mengajari anak-anak untuk memahami cara lebih riil mencapai cita-cita. Kita harus tahu jalan menuju cita-cita itu lalu menempuhnya satu persatu. Misalnya, kalau ingin jadi dokter, saya paparkan jalannya, “Lulus SD, lulus SMP, lulus SMA, lalu masuk Fakultas Kedokteran.”
Kemudian, saya paparkan profesi saya sebagai penulis. Ketika saya tanyakan apa itu penulis, umumnya murid-murid yunior itu tidak tahu. Ada yang mencoba menjawab, “Menulis A, B, C…” Tentu saja jawabnya tidak salah, tapi tidak tepat. Saya lalu tunjukkan gambar RA Kartini sambil saya tanyakan, “Siapa Ibu ini?” Tidak ada yang menjawab. Saya tunjukkan gambar Ir Soekarno, juga tidak ada yang tahu. Maka, rencana saya untuk menunjukkan gambar JK Rowling langsung saya batalkan.
Kemudian, saya tengokkan kepala kanan-kiri. Nah, kebetulan ada buku di meja guru. Saya pun ambil satu. Saya tanyakan, apa gunanya buku? Kompak, murid-murid menjawab, “Supaya pintar.” Saya mengulang, “Dengan membaca buku, kita jadi pintar.” Kemudian, saya berlogika, “Kalau baca buku bikin pintar, bagaimana orang yang menulis buku?” Mereka menjawab, “Juga pintar.” Lalu, saya jelaskan, “Penulis buku harus pintar. Kalau tidak, pasti bukunya tidak bisa dibaca.” Anak-anak tertawa.
Lalu, dari buku yang saya pegang, saya tunjukkan bagian sampul yang menunjukkan nama penulisnya. Setelah itu, saya ambil beberapa buku lain, dan saya minta anak-anak untuk mencari nama penulisnya. Semuanya berhasil menemukan. Dari situ, saya tunjukkan peran penulis untuk membuat pintar anak-anak. “Mau jadi penulis?” Langsung dijawab serentak, “Mauuuuu….”
Ketika bertemu murid-murid kelas 3, 4, dan 5, cerita saya lebih cepat nyambung. Karena usia lebih dewasa, dan pengetahuan lebih banyak, anak-anak ini lebih gampang diajak berkomunikasi, seru-seruan, tebak-tebakan, dan lain-lain. Saya beri kesempatan mereka mempraktikkan menulis, sekaligus membacanya di kelas. Saya menyediakan diri menjadi bahan tulisan. Misalnya, saya berpose berdiri sambil memegang botol air.
Ketika diberi kesempatan belajar hal-hal yang berbeda daripada rutinitas biasanya, anak-anak tampak sangat antusias. Saya bebaskan mereka menulis apa saja tentang saya. Saya bebaskan cara mereka menulis, sehingga ada yang bergerombol, ada yang menyendiri, ada yang selonjor di lantai, ada duduk di atas meja. Ada yang langsung bertanya pada saya tentang dasi saya. Ada yang wajahnya bersungut-sungut dan tangannya dihentak-hentak seolah ada banyak hal di otaknya namun tidak lancar mengalir ke jemarinya untuk dituliskan. Bermacam-macam ekspresi.
Hasilnya? Lumayan.
Detil yang dituliskan hampir mirip dengan kenyataan. Mereka menyebut tutup botolnya warna biru berbentuk bundar. Mereka menyebut dasi saya batik warna cokelat. Mereka menyebut airnya setengah penuh. Saya tertarik pada seorang anak, entah dari kelas 4 atau 5, yang pasti dia laki-laki, bertubuh relatif kecil, rambut ikal pendek ditutupi topi, dan tidak banyak bicara tapi sering tersenyum. Anak ini bisa menulis lebih dari setengah halaman kertas saat yang lain rata-rata hanya seperempat halaman dalam rentang waktu sama.
Tentu, saya tidak bisa mengukur kemampuan anak-anak itu dengan pertemuan yang hanya sekian jam. Apa lagi, saya jelas tidak bisa menaksir bagaimana nasib mereka di masa depan. Namun, saat sekolah-sekolah di pinggiran makin minim murid, anak-anak ini tampaknya bisa diarahkan untuk maju. Yang sangat mereka butuhkan adalah guru-guru yang sabar, bermutu, dan tahu cara membimbing. Guru ini bisa ditemukan di sekolah, di rumah, di lingkungan, dan di masyarakat.
Mungkin saja anak yang bercita-cita jadi pembantu bakal menjadi pembantu beneran. Namun, semoga menjadi pembantu yang profesional, berkualitas tinggi, dan bekerja di untuk orang, profesi, atau institusi besar. Misalnya, menjadi pembantu presiden alias menteri, atau menjadi asisten jenderal yang setidaknya berpangkat letnan, atau pembantu pilot alias co-pilot, dan sejenisnya.
Hal lain, well…, teman-teman relawan adalah guru hebat buat saya. Berbagai pengalaman teman-teman bisa memperkaya pengetahuan dan pengalaman saya sendiri. Mas Eko mengajari saya untuk ingat pada cerita ‘Berlibur ke Rumah Nenek di Desa.’ Mas Dedy mengajari saya untuk mengukur kekuatan jantung dan fisik di tanjakan. Mas Wakhid, teknik senamnya saya curi sekarang. Mas Nur mengajari saya untuk waspada terhadap penampakan. Dan banyak lagi.
Pokoknya jozz gandozz.
Lokasinya juga mantap. Sebagai orang yang lahir di kota besar dan menghabiskan banyak waktu di kota besar pesisir, saya sangat menikmati suasana pegunungan Jobolarangan; udaranya, pemandangannya, hawanya, suara-suaranya, binatangnya, keramahan penduduknya, makanannya (eh, harusnya kita urunan untuk Nenek), lika-liku jalannya, kabutnya, semuanya.
Surabaya, 28 Januari 2016
Meski termangu, saya tidak mengomentari ucapan lugu anak itu. Saya lanjutkan giliran menanyai anak-anak lain tentang cita-cita. Jawaban populer yakni; guru, dokter, tentara, dan polisi, masih banyak saya dengar. Namun, saya juga mendengar dua anak menjawab, “Kerja di kota.” Setelah saya tanya lebih jauh, yang satu bilang, “Di Jakarta,” dan yang satunya lagi tidak segera menjawab pasti, namun kemudian dia ralat ,”Kerja di Hongkong.”
Saya juga mendengar jenis cita-cita yang lumayan beragam. Ada anak yang bercita-cita menjadi guru silat. Alasannya? Kalau ada preman, langsung disikat. Ada juga yang ingin menjadi pemain sepakbola dan pembalap mobil. Alasannya? Bisa terkenal. Ada juga yang bercita-cita jadi chef. Padahal dia laki-laki. Bisa jadi, ini karena paparan televisi.
Salah satu misi Kelas Inspirasi memang mengenalkan profesi sehingga anak-anak punya lebih banyak pilihan cita-cita. Karena itu, saya tidak ingin menilai suatu cita-cita dibandingkan cita-cita yang lain. Konkritnya, saya tidak menilai cita-cita menjadi pembantu lebih buruk daripada cita-cita menjadi dokter. Sepanjang dikejar dan dijalani dengan baik, takdir manusia ada di jentikan jari-jari Tuhan.
Lalu, saya tanyakan, bagaimana cara mencapai cita-cita? Hampir bebarengan, boleh dikata semua menjawab, “Belajar yang rajin, berdoa.” Tentu saja jawaban itu benar. Tapi, kurang spesifik dan jelas. Maka, saya mengajari anak-anak untuk memahami cara lebih riil mencapai cita-cita. Kita harus tahu jalan menuju cita-cita itu lalu menempuhnya satu persatu. Misalnya, kalau ingin jadi dokter, saya paparkan jalannya, “Lulus SD, lulus SMP, lulus SMA, lalu masuk Fakultas Kedokteran.”
Kemudian, saya paparkan profesi saya sebagai penulis. Ketika saya tanyakan apa itu penulis, umumnya murid-murid yunior itu tidak tahu. Ada yang mencoba menjawab, “Menulis A, B, C…” Tentu saja jawabnya tidak salah, tapi tidak tepat. Saya lalu tunjukkan gambar RA Kartini sambil saya tanyakan, “Siapa Ibu ini?” Tidak ada yang menjawab. Saya tunjukkan gambar Ir Soekarno, juga tidak ada yang tahu. Maka, rencana saya untuk menunjukkan gambar JK Rowling langsung saya batalkan.
Kemudian, saya tengokkan kepala kanan-kiri. Nah, kebetulan ada buku di meja guru. Saya pun ambil satu. Saya tanyakan, apa gunanya buku? Kompak, murid-murid menjawab, “Supaya pintar.” Saya mengulang, “Dengan membaca buku, kita jadi pintar.” Kemudian, saya berlogika, “Kalau baca buku bikin pintar, bagaimana orang yang menulis buku?” Mereka menjawab, “Juga pintar.” Lalu, saya jelaskan, “Penulis buku harus pintar. Kalau tidak, pasti bukunya tidak bisa dibaca.” Anak-anak tertawa.
Lalu, dari buku yang saya pegang, saya tunjukkan bagian sampul yang menunjukkan nama penulisnya. Setelah itu, saya ambil beberapa buku lain, dan saya minta anak-anak untuk mencari nama penulisnya. Semuanya berhasil menemukan. Dari situ, saya tunjukkan peran penulis untuk membuat pintar anak-anak. “Mau jadi penulis?” Langsung dijawab serentak, “Mauuuuu….”
Ketika bertemu murid-murid kelas 3, 4, dan 5, cerita saya lebih cepat nyambung. Karena usia lebih dewasa, dan pengetahuan lebih banyak, anak-anak ini lebih gampang diajak berkomunikasi, seru-seruan, tebak-tebakan, dan lain-lain. Saya beri kesempatan mereka mempraktikkan menulis, sekaligus membacanya di kelas. Saya menyediakan diri menjadi bahan tulisan. Misalnya, saya berpose berdiri sambil memegang botol air.
Ketika diberi kesempatan belajar hal-hal yang berbeda daripada rutinitas biasanya, anak-anak tampak sangat antusias. Saya bebaskan mereka menulis apa saja tentang saya. Saya bebaskan cara mereka menulis, sehingga ada yang bergerombol, ada yang menyendiri, ada yang selonjor di lantai, ada duduk di atas meja. Ada yang langsung bertanya pada saya tentang dasi saya. Ada yang wajahnya bersungut-sungut dan tangannya dihentak-hentak seolah ada banyak hal di otaknya namun tidak lancar mengalir ke jemarinya untuk dituliskan. Bermacam-macam ekspresi.
Hasilnya? Lumayan.
Detil yang dituliskan hampir mirip dengan kenyataan. Mereka menyebut tutup botolnya warna biru berbentuk bundar. Mereka menyebut dasi saya batik warna cokelat. Mereka menyebut airnya setengah penuh. Saya tertarik pada seorang anak, entah dari kelas 4 atau 5, yang pasti dia laki-laki, bertubuh relatif kecil, rambut ikal pendek ditutupi topi, dan tidak banyak bicara tapi sering tersenyum. Anak ini bisa menulis lebih dari setengah halaman kertas saat yang lain rata-rata hanya seperempat halaman dalam rentang waktu sama.
Tentu, saya tidak bisa mengukur kemampuan anak-anak itu dengan pertemuan yang hanya sekian jam. Apa lagi, saya jelas tidak bisa menaksir bagaimana nasib mereka di masa depan. Namun, saat sekolah-sekolah di pinggiran makin minim murid, anak-anak ini tampaknya bisa diarahkan untuk maju. Yang sangat mereka butuhkan adalah guru-guru yang sabar, bermutu, dan tahu cara membimbing. Guru ini bisa ditemukan di sekolah, di rumah, di lingkungan, dan di masyarakat.
Mungkin saja anak yang bercita-cita jadi pembantu bakal menjadi pembantu beneran. Namun, semoga menjadi pembantu yang profesional, berkualitas tinggi, dan bekerja di untuk orang, profesi, atau institusi besar. Misalnya, menjadi pembantu presiden alias menteri, atau menjadi asisten jenderal yang setidaknya berpangkat letnan, atau pembantu pilot alias co-pilot, dan sejenisnya.
Hal lain, well…, teman-teman relawan adalah guru hebat buat saya. Berbagai pengalaman teman-teman bisa memperkaya pengetahuan dan pengalaman saya sendiri. Mas Eko mengajari saya untuk ingat pada cerita ‘Berlibur ke Rumah Nenek di Desa.’ Mas Dedy mengajari saya untuk mengukur kekuatan jantung dan fisik di tanjakan. Mas Wakhid, teknik senamnya saya curi sekarang. Mas Nur mengajari saya untuk waspada terhadap penampakan. Dan banyak lagi.
Pokoknya jozz gandozz.
Lokasinya juga mantap. Sebagai orang yang lahir di kota besar dan menghabiskan banyak waktu di kota besar pesisir, saya sangat menikmati suasana pegunungan Jobolarangan; udaranya, pemandangannya, hawanya, suara-suaranya, binatangnya, keramahan penduduknya, makanannya (eh, harusnya kita urunan untuk Nenek), lika-liku jalannya, kabutnya, semuanya.
Surabaya, 28 Januari 2016
Teguh Wahyu Utomo
Relawan Pengajar Kelas Inspirasi Magetan #3
Profesi : Penulis
Rombel 09 : SDN Gonggang
Kec. Poncol Kab. Magetan
ConversionConversion EmoticonEmoticon